BLOG TRAVELLER

SELAMAT DATANG DI BLOG MAS KOMARI

Wednesday 18 March 2015

Mau Lagi Diajak ke Candi Cetho


Akhir Pebruari kemarin teman saya dari Tangerang berkunjung ke Madiun tempat tinggal saya. Dia jauh – jauh dari Tangerang cuma pengen main ke Candi Cetho yang ada di Karanganyar Jawa Tengah tepatnya di bawah lereng Gunung Lawu. Entah pikiran apa yang telah merasukinya hingga rela mengajukan cuti di tempat kerjanya untuk berkunjung ke Candi Cetho. Saat searching di google dia tergoda dengan foto - foto Candi Cetho yang banyak ditemukan di google. Dia pun meminta saya untuk mengantarkannya ke sana.

Tanggal 19 Pebruari tepatnya pas hari libur memperingati Tahun Baru Imlek dia sampai di Terminal Purboyo Madiun. Saya pun menjemputnya dan sebelum berangkat ke CandiCetho kami mampir pom bensin karena dia belum sempat mandi selama perjalanan naik bis. Setelah membersihkan diri di pom bensin kami mampir ke warung makan untuk mengisi perut kami yang belum terisi dari pagi.

Selesai makan kami langsung berangkat menuju Candi Cetho yang ada di Karanganyar lewat Magetan. Meskipun saya pernah sekali ke Candi Cetho namun saya agak lupa jalan menuju ke sana. Saat sampai di Karanganyar di dekat Patung Semar, saya berhenti dan bertanya kepada salah satu warga. Saya pun mematikan motor kemudian turun dari motor. Karena jika kita tidak mematikan motor dan tidak turun dari motor bisa jadi kita dikasih petunjuk yang salah karena kita dianggap tidak sopan.
“Mas, kalo mau ke Candi Cetho jalannya kemana?”
“Ohh.. lurus aja mas, nanti ada pertigaan belok kanan terus lurus aja ikutin jalan nanti ada plang yang menunjukkan arah candi Cetho mas nya bisa mengikuti plang tersebut.”

Ternyata saya tidak nyasar, setelah Patung Semar kita lurus hingga sampai pertigaan kemudian belok kanan. Di sini sudah banyak petunjuk jalan atau plang yang menunjukkan arah menuju ke Candi Cetho. Kita tinggal mengikuti plang – plang tersebut.

Jalan menuju Candi Cetho agak berbelok – belok, banyak tanjakan dan turunan tajam. Jadi bagi pengendara motor diharapkan untuk berhati – hati saat melalui jalan tersebut. Di sepanjang perjalanan menuju Candi Cetho kita akan disuguhi pemandangan indah kaki Gunung Lawu.  

Ini kapan sampainya, kok lama banget sich?” gerutu teman saya.
“Udah nikmatin aja perjalanannya, pemandangannya kan juga bahenol.”

Sebelum sampai ke Candi Cetho kita akan melewati Kebun Teh Kemuning yang pemandangannya tak kalah indah. Namun kita juga tetap hati – hati karena jalanan yang berbelok – belok.

CandiCeto berada di ujung jalan tepatnya di Desa Gumeng yang berada di Kecamatan Jenawi. Di wilayah Candi Cetho kita akan menemui rumah – rumah penduduk yang mirip penduduk di Pulau Bali. Karena mayoritas penduduk di wilayah Candi Cetho beragama Hindu.

Setelah memarkirkan kendaraan, saya langsung menuju ke Candi Cetho. Namun sebelum masuk ke kita wajib membayar tiket masuk sekitar Rp. 3000 (murah sekaliii). Selain itu kita wajib memakai kain yang bercorak kotak – kotak seperti papan catur yang dipinjamkan oleh pengelola Candi Cetho dan membayar seikhlasnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kesakralan yang ada di Candi Cetho karena tempat ini merupakan tempat ibadah umat Hindu dan masih digunakan hingga sekarang.

Hari itu sangat ramai pengunjung yang datang ke Candi Cetho meskipun cuaca saat itu sedang hujan dan sering berkabut. Saya pun  masuk ke Candi Cetho dan melihat sebuah papan yang menginformasikan tentang Candi Cetho tersebut. Dalam papan tersebut tertuliskan bahwa Candi Cetho tersebut pertama kali dikenal berdasarkan laporan penelitian Van de Vlies tahun 1842. Kemudian pada tahun 1975/1976 Sudjono Humardani melakukan pemugaran terhadap Kompleks Candi Tetho dengan dasar “perkiraan” bukan pada kondisi asli. Kemungkinan Candi Cetho dibangun pada masa Kerajaan Majapahit.

Candi Cetho Ramai Pengunjung
Candi Cetho Ramai Pengunjung
Setelah membaca – baca informasi yang ada di papan tersebut kami melanjutkan untuk naik dan masuk ke halaman yang lumayan luas melalui gapura candi tersebut. Di halaman yang luas ini terdapat beberapa batu yang berbentuk kura – kura besar. Dari halaman ini, jika cuaca tidak berkabut kita juga bisa melihat pemandangan gunung yang berjejer seperti Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah barat Candi Cetho.

Di atas halaman utama terdapat dua bale – bale atau bangunan seperti pendopo yang berada di kanan dan kiri. Tapi ironisnya saat berada di sini saya menemui muda – mudi yang tanpa malu bermesra – mesraan di tempat umum seperti ini. Saya pun menghampiri mereka dan coba mengingatkannya.

“Hayooooo… pacarannya jangan di sini mas, nanti cepat putus lho”.

Mereka pun sempat tertawa tetapi menerima saran saya dan berjauhan dengan pasangannya. Karena tempat ini merupakan tempat ibadah sangat disayangkan jika digunakan untuk hal – hal yang tidak sopan seperti pacaran.

Kemudian saya naik menuju puncak Candi Cetho yang terdapat bangunan mirip piramida yang ada di Mesir. Untuk masuk ke dalam bangunan yang berada di puncak Candi Cetho, pengunjung diharapkan untuk melepas alas kaki nya. Untuk menjaga kebersihan dan kesucian bangunan candi.

Di dalam kompleks Candi Cetho juga terdapat Candi Ketek yang letaknya kurang lebih 300 meter ke utara dari Candi Cetho. Kita hanya membayar Rp. 1000 untuk tiket masuk Candi Kethek. Untuk ke sana kita harus melewati jalan setapak yang sedikit licin jika habis hujan dan kita harus hati – hati karena di pinggir jalan setapak tersebut terdapat jurang. Namun sepanjang perjalanan menuju Candi Kethek kita akan disuguhi pemandangan hutan khas gunung Lawu yang asri. Namun tidak banyak pengunjung yang mengunjungi Candi Kethek.  Mungkin karena harus jalan lebih jauh lagi atau memang belum tahu tentang keberadaan Candi Kethek.

Petunjuk Jalan ke Candi Ketek
Petunjuk Jalan ke Candi Ketek
Jalan menuju Candi Kethek
Jalan menuju Candi Kethek

Di depan bangunan Candi Kethek juga terdapat papan informasi yang menerangkan tentang Candi Kethek. Nama Kethek atau dalam bahasa Indonesia berarti Kera diberikan oleh masyarakat sekitar karena banyak kera yang terdapat di sekitar Candi Kethek. Waktu pertama kali ke sini saya juga menjumpai beberapa kera di sepanjang jalan menuju Candi Kethek.

Candi Kethek
Candi Kethek
Menurut informasi yang saya baca di papan informasi tersebut, kemungkinan pendirian Candi Kethek sama dengan beberapa candi di sekitarnya seperti Candi Cetho dan Candi Sukuh yang didirikan sekitar abad ke XV – XVI. Struktur bangunan pada Candi kethek juga serupa dengan stuktur bangunan pada Candi Cetho. Di puncaknya terdapat sebuah altar untuk pemujaan atau sembahyang umat Hindu.

Puncak di Candi Kethek
Puncak di Candi Kethek

Setelah mengunjungi Candi Kethek saya sempatkan untuk mampir ke Puri Taman Saraswati yang masih berada di wilayah kompleks Candi Cetho. Letaknya berada di atas Candi Cetho. Jika kita dari Candi Kethek maka ada di sebelah kiri jalan setapak.

Selain untuk wisata masyarakat umum, Puri Taman Saraswati ini juga masih digunakan oleh masyarakat umat Hindu untuk bersembahyang. Jadi saat memasuki Puri Taman Saraswati pengunjung harus melepas alas kaki yang dipakai.

Halaman utama Puri Taman Saraswati cukup luas berlantaikan keramik, namun kita harus berhati – hati karena lantai lumayan licin jika habis turun hujan. Di sana terdapat patung Dewi Saraswati yang cantik dan memiliki empat tangan. Keempat tangan tersebut memiliki arti yang berbeda yaitu tentang ego, pikiran, intelektual serta mawas diri. Menurut informasi patung tersebut langsung dari Gianyar Bali. Selain patung tersebut juga ada Sendang Pundi Sari serta altar pemujaan.

Puri Taman Saraswati
Puri Taman Saraswati


Jadi jika berwisata ke Candi Cetho kita bisa langsung ke tiga tempat sekaligus yaitu Candi Cetho, Candi Kethek dan Puri Taman Saraswati yang ketiga nya mengandung nilai sejarah. Selain berwisata alam kita juga bisa belajar tentang sejarah masa lampau yang berada di Nusantara pada umumnya dan sejarah di Karanganyar khususnya. Dari candi – candi tersebut kita bisa tahu bahwa dahulunya penduduk Pulau Jawa mayoritas beragama Hindu.



Tulisan ini diikut sertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah Periode 2 


Tuesday 17 March 2015

Pantai Srau Pacitan



Bicara tentang keindahan alam Pacitan memang tak bisa jauh dari keindahan laut dan goa nya. Salah satu panorama alam di Pacitan yang kami kunjungi di akhir bulan Pebruari kemarin adalah Pantai Srau, pantai berpasir putih yang letaknya di Kecamatan Pringkuku tepatnya di desa Candi. Dari Kota Pacitan sekitar 25 km atau 1,5 jam jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Untuk menuju Pantai Srau dari Kota Pacitan tidak terlalu sulit karena banyak penunjuk jalan yang tertulis dibeberapa titik. Namun jika sudah mendekati Pantai Srau, jalanan agak sempit, berbukit dan berbelok - belok. Tidak ada angkutan umum yang menuju Pantai Srau, jadi sobat traveller harus menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju Pantai Srau.

Hingga saat ini Pantai Srau masih sepi pengunjung dan masih bersih dari sampah - sampah. Namun panorama alam yang disajikan tidak kalah indah dari pantai - pantai lainnya. Pantai Srau sangat cocok untuk acara camping seperti yang kami lakukan kemarin saat berkunjung ke pantai ini. 
Tidak ada fasilitas hotel atau penginapan di Pantai Srau, jadi banyak pengunjung yang mendirikan tenda di sekitar pantai jika ingin menginap di Pantai Srau. Namun tetap menjaga kesopanan dana perilaku jika menginap di Pantai Srau meskipun tidak ada penjaga di sini.

Sunrise Pantai Srau
Sunrise Pantai Srau
Saat pagi hari, sobat traveller akan disuguhi pemandangan sunrise yang sangat indah yang keluar dari belakang tebing. Selain itu sobat traveller juga bisa melihat aktivitas nelayan setempat saat mencari ikan atau memancing. Untuk melihat aktivitas nelayan lebih dekat, sobat traveller bisa naik ke tebing sebelah selatan dan mengikuti jalan setapak yang ada di sana. Dari tebing ini sobat traveller bisa menikmati keindahan Pantai Srau dari atas. Jika sobat naik ke atas lagi, sobat traveller bisa melihat Samudra Hindia yang luas dari tebing namun harus berhati - hati karena banyak tanaman liar berduri yang tumbuh di sekitar tebing.

Aktivitas nelayan Pantai Srau
Aktivitas nelayan Pantai Srau


Gimana? minat traveller ke Pantai Srau?
Jangan lupa siapkan bekal makanan dari rumah karena di Pantai Srau hanya ada sedikit penjual makanan yang ada di sekitar pantai Srau. Selain itu biar akomodasinya lebih hemat. hehehee

Tetep jaga keindahan dan keasrian alam kita!!!



Sunday 15 March 2015

Benteng Van den Bosch Ngawi




Benteng Van den Bosch
Pintu Gerbang Benteng Van den Bosch


Benteng Van den Bosch merupakan bangunan peninggalan sejarah jaman Belanda yang berada di Ngawi Kota tepatnya di Kecamatan Ngawi, Kelurahan Pelem. namun masyarakat sekitar biasa menyebutnya Benteng Pendem karen letaknya lebih rendah dari permukaan tanah. Lokasi Benteng Pendem juga sangat strategis tidak jauh dari pusat kota. Jika dari Alun - alun Kota Ngawi ke utara sekitar 500 m dan setelah ada perempatan belok kanan hingga ketemu persimpangan. Di situ sudah sampai di pintu masuk Benteng Pendem. Namun bagi sobat traveller yang dari luar kota akan sedikit bingung jika tidak bertanya kepada warga lokal karena tidak ada petunjuk jalan untuk menuju Benteng Pendem.

Untuk masuk ke dalam Benteng Pendem sobat traveller tidak mahal, hanya dikenakan tarif Rp. 5000/orang dan RP. 1000 untuk parkir kendaraan bermotor. 

Di dalam Benteng ini masih bisa dijumpai bangunan - bangunan kuno peninggalan Belanda. Bangunan - bangunan tersebut banyak dimanfaatkan oleh beberapa fotografer untuk preeweding atau hanya mengambil gambar bangunan kuno tersebut. seperti yang saya jumpai beberapa waktu lalu banya fotografer - fotografer mengambil gambar di sana. Selain itu banyak anak - anak muda yang berkunjung ke sini hanya sekedar untuk foto - foto saja. 

Selain itu juga terdapat sebuah makam yang berada di dalam Benteng Pendem. Menurut informasi, makam tersebut adalah makam K.H. Muhammad Nursalim. Beliau adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam pertama kali yang menyebarkan agama Islam di wilayah Ngawi. Beliau juga merupakan pengikut Pangeran Diponegoro yang pernah ditangkap Belanda dan dibawa ke Benteng Pendem. Beliau meninggal di Benteng Pendem dengan cara dikubur hidup karena beliau mempunyai kekuatan yang tidak mempan ditembak.
Makam KH Muhammad Nursalim
Makam KH Muhammad Nursalim

Benteng Pendem dibangun pada tahun 1839 oleh Pemerintahan Belanda dan diselesaikan pada tahun 1845. Benteng tersebut digunakan untuk mempertahankan Kota Ngawi sebagai jalur perdagangan. Karena pada saat itu perlawanan para pejuang berkobar di daerah untuk melawan Belanda.
Bangunan Benteng Van den Bosch
Bangunan di Benteng Benteng Van den Bosch


Meskipun bangunan Benteng tersebut sudah tua dan berusia ratusan tahun, namun masih terlihat kokoh dan kuat. Semoga para generasi muda bisa belajar sejarah tentang perjuangan para pejuang terdahulu dan tetap bisa merawat kebersihan benteng Pendem khususnya dari Vandalisme yang biasa dilakukan oleh remaja muda.

Monday 2 March 2015

Pendakian Gunung Arjuna


Gunung Arjuna adalah gunung yang berada di Propinsi Jawa Timur tepatnya terletak di Kabupaten Malang dengan ketinggian 3339 mdpl. Letaknya dekat dengan Gunung Welirang.  Gunung Arjuna masih kental dengan aura mistisnya. Hal itu terlihat dengan banyaknya peziarah – peziarah yang melakukan ritual di Gunung Arjuna. Selain itu, banyak petilasan – petilasan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit yang masih ada di GunungArjuna. Seperti petilasan Goa Onto Boego, Eyang Sakri, Eyang Semar dan masih banyak petilasan lainnya yang tidak bisa saya ingat.

Untuk mendaki Gunung Arjuna ada beberapa jalur yang biasa dilalui oleh para pendaki yaitu, jalur Tretes, Lawang, Purwosari dan mungkin masih ada jalur lainnya yang belum saya ketahui. Dan untuk pertama kalinya saya mendaki Gunung Arjuna melalui jalur Purwosari yang berada di Malang.

Rabu malam tanggal 19 Nopember 2014 ada ajakan dari teman – teman Malang untuk polio bareng – bareng di Gunung Arjuna. Dengan penuh godaan dan rayuan manis mereka yang mirip sales deodoran, akhirnya saya tergoda untuk menerima ajakan mereka. Kami merencanakan berangkat hari Jum’at tanggal 21 Nopember 2014 dan berkumpul di Malang.

Esok harinya pun saya menyiapkan amunisi seadanya yang akan di bawa dan tak lupa daleman sebanyak – banyaknya sebagai pelengkap. Jum’at pagi sekitar pukul 05.00 saya berangkat dari Madiun menuju Kota Kediri. Mampir ke rumahnya om Setio Wahab karena berangkatnya ke Malang saya nebeng beliau.  Ada satu teman saya yang dari Ponorogo yang menyusul saya di Kediri. Namanya Al Vian, mantannya teman saya yang hingga saat ini masih belum bisa melupakan kenangan – kenangan masa lalunya.

Pukul 11.00 siang kami bertiga berangkat dari Kediri menuju Malang dengan mengendarai barakuda nya om Setio. Saya duduk di tengah diantara kedua laki – laki yang saya tidak pernah tahu apa yang dalam pikiran mereka. Karena om Setio sering mengurangi gigi perseneling dan menambah gigi perseneling, batangan persenelinganya pun sering mengenai anu saya. Saya pun menikmati anu saya yang kesenggol perseneling setiap di tikungan dan tanjakan. Meskipun kadang terasa nyeri juga.

Sekitar pukul 13.40 kami bertemu para sekutu dari Malang. Ada mas Erick porter kebanggaan kita yang udah biasa memanggul beban hidupnya yang lumayan berat. Mas Eko yang masih setia dengan kejombloannya dari jamannya Meteor Garden hingga entah kapan. Mifta Yuri yang entah siapa dia. Mas Chairil yang sering lari dari kenyataan. Dan dua cewek yang sangat mengidolakan saya, Dewi Dio dan Nurul Inayah alias Enyund (panggilan sayang dari mantan). Jadi  semua pasukan kami ada 9 orang dengan 7 laki – laki normal dan 2 wanita yang insyaallah normal. Setelah semua pasukan berkumpul dan senjata sudah lengkap, kami pun berangkat menuju basecamp Purwosari. Para sekutu dari Malang mengendarai motor dan saya tetap bertiga dengan barakuda nya om Setio.

Gunung Arjuna
Depan Basecamp


Kurang lebih pukul 15.20 kami sampai di basecamp perijinan Purwosari. Kami pun mengecek kembali amunisi yang kami bawa agar tidak ada yang tertinggal. Dan untuk memastikan bahwa daleman saya tidak berkurang satu pun. Setelah yakin amunisi sudah lengkap dan membayar perijinan, kami pun memanggul tas kami masing – masing dan berjalan layaknya gerilyawan perang siap tempur.

Perjalanan awal jalurnya masih landai, melewati hutan pinus yang entah masih perawan atau sudah janda tapi lumayan lebat. Om Setio dengan kamera nya selalu siap membidik untuk mengabadikan setiap langkah kami. Namun, sampai di Goa Onto Boego cuaca mulai mendung dan gerimis turun dari atas ke bawah menuju tanah yang kami injak, kami pun berhenti sejenak di Goa Onto Boego dan menyiapkan jas hujan untuk melindungi diri dari hantaman air hujan yang bisa membuat tubuh basah. Namun tidak semuanya memakai jas hujan karena merasa yakin kalo gerimis akan berhenti.

Goa Onto Boego
Goa Onto Boego


Setelah persiapan jas hujan selesai, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 2 Tampuono. Ditengah perjalanan ternyata hujan air turun lumayan lebat. Dan cuaca saat itu semakin gelap.
“Untung cuma hujan air yaa di sini, bukan hujan harapan palsu” celoteh saya kepada salah satu teman. Saya pun segera memakai jas hujan yang terbuat dari plastik yang saya beli dengan harga 6000 rupiah.

Rombongan kami terpisah menjadi tiga. Dua orang di depan tiga orang ditengah termasuk saya dan empat orang di belakang. Dan saat melewati persimpangan, rombongan saya yang tiga orang sempat bingung karena belum ada yang pernah mendaki di Gunung Arjuna.

“Duhh,., lewat yang mana nich?” tanya teman saya.
“Lhooo,., kamu gak tau jalannya?”
“Aku belum pernah ke sini eg.” Jawab dia.
“Emmmm,. Kamu kalo cebok pake tangan mana?” saya.
“Kiri.” Jawab dia
“Yaudah,. Kita lewat jalur kiri aja.”
“Lhoo kok bisa?” tanya dia kebingungan.
“Lhaa kan kita kalo cebok karena habis mengeluarkan sesuatu, nah sekarang kita yang ingin keluar dari kebingungan ini. Mending kita pilih jalur kiri aja.”

Dan akhirnya kami pun memilih jalur yang kiri dan berjalan terus  melewati genangan – genangan air yang turun dari atas. Jalur kami pun sudah seperti sungai karena hujan yang semakin deras. Kami terus berjalan meskipun kenangan – kenangan saat hujan terus membayang – bayangiku.

Beberapa jam kemudian, kami bertiga sampai di Pos 2 Tampuono. Di sana sudah ada mas Erick dan mas Chairil yang sudah telanjang dada hanya mengenakan celana saja.  Entah apa yang sudah mereka berdua perbuat saya tidak tahu karena saya juga tidak terlalu memikirkan hal itu. Kami istirahat sejenak di Pos Tampuono sambil menunggu rombongan yang belakang dan juga menunggu hujan reda.

Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 5 Mangkutoromo. Jalur dari Pos 2 menuju Pos 5 sudah mulai menanjak.  Dan kondisi tanah yang agak licin membuat kami sering terpeleset. Tapi beda dengan mas Eko yang lebih menyukai sesuatu yang licin dan becek. Kami terus berjalan menanjak ditengah kegelapan malam. Dan keindahan kota Malang di malam hari bisa kami lihat dari atas. Pemandangan yang sangat menajkubkan bagi kami meskipun saat sore tadi di guyur hujan air.

Kurang lebih 3 jam an berjalan menyusuri hutan Gunung Arjuno, kami pun sampai di Pos 5 Mangkutoromo. Saya datang belakangan sendiri karena terlalu lama istirahat. Saat itu angin lumayan kencang dan saat menuju sebuah gubuk yang ada di Pos 5 saya disambut ucapan selamat datang dengan bahasa yang tidak saya mengerti.
“Guggg,.,.guggg,.,gugggg,.,gugggg” yaa.,., seekor anjing menggonggong ke saya.
Saya pun menjawab, “please dech njing,...kalo ngomong itu pake bahasa manusia aja biar aku bisa mengerti.”gerutu saya kemudian masuk ke dalam gubuk dan bergabung dengan teman saya yang sudah sampai duluan dan menghangatkan tubuhnya di pinggiran api yang dibuat oleh penghuni gubuk tersebut.

Di Pos 5 Mangkutoromo ini ada bapak – bapak yang tinggal di gubuk ini. Bisa dibilang semacam juru kunci gitu. Tapi bukan juru kunci yang suka membuat kunci motor atau kunci yang lainnya. Namanya Pak To, rambutnya gondrong dan berkumis.Beliau suka bercerita tentang sejarah Gunung Arjuno. Kami pun memutuskan untuk beristirahat di Pos 5 dan melanjutkan perjalanan menuju puncak besok pagi. Sambil beristirahat kami mendengarkan cerita – cerita dari Pak To. Namun hari semakin malam, rasa ngantuk menggoda kami untuk menutup mata.

Tak terasa hari sudah pagi, tapi tak terdengar suara ayam berkokok hanya ada suara kentut orang di sebelah ku yang tanpa dosa mengeluarkannya dengan nada tenor. Saya segera bangun dan keluar dari gubuk untuk menikmati sunrise pagi itu. Kata Pak To di deket Pos 5 ini ada ada sumber air namanya Sendang Widodaren. Dari Pos 5 ke selatan turun sedikit. Saya pun pergi ke sana untuk cuci muka ngambil air untuk masak.

Pos 5 Mangkutoromo
Pos 5 Mangkutoromo


Rencananya pagi itu kita summit sekitar jam 6 an pagi selesai sarapan. Namun beberapa teman kami masih belum bangun dari tidurnya. Akhirnya kami summit sekitar pukul 8.00 pagi. Semua perlengkapan camping kami tinggal di Pos 5 dan dititipkan ke Pak To. Kami hanya membawa air dan makanan secukupnya untuk ke puncak. Dari Pos 5 menuju puncak jalur nya menanjak terus. Perkiraan kami, perjalanan menuju puncak sekitar 6 jam. Ternyata sampai 7 jam kami belum juga sampai. Kami terus berjalan menyusuri hutan ditemani anjing hitam yang bernama Zhi. Anjing yang udah lama hidup di Indonesia namun belum bisa bahasa Indonesia. Entahlah,.....!!!



Sekitar pukul pukul 15.00 cuaca mulai mendung, kami baru sampai di bawah Puncak Arjuno. Saat itu gemuruh dari langit meledek kami dengan suara yang tak berirama. Saya sendiri sempat tengkurap karena tiba – tiba kilat menyambar – menyambar. Beberapa teman kami berteduh di bawah pohon pinus, saya pun ikut mereka berteduh di situ. Tanpa pemberitahuan tiba – tiba  suatu pancaran putih dari langit menyambar kami yang ada di bawah pohon.
“Derrrrrrrrrr,., “
“Tiarap ,.,tiarapp.,.,. Belanda menyerang, siap posisi 4-3-3”.
Saya pun tiarap dan berlari menuju ke bawah batu besar yang ada di sebelah kami.
“Huhhhh,., petir yang genit, kenal aja belum tapi udah berani colak – colek.” Gerutu saya. Kemudian hujan mengguyur, kami pun berteduh di bawah batu besar dan menggelar terpal untuk melindungi kami dari air hujan . Sambil menunggu hujan reda, kami memasak air dan mencampurnya dengan bubuk kopi untuk penghangat tubuh kami yang mulai kedinginan.

Selang beberapa jam akhirnya hujan reda, namun kami bingung mau melanjutkan atau kembali turun.
“Udah reda nich, kita lanjut naik apa turun lagi?”tanya salah satu teman.
“Kalo naik takutnya ntar kesamber petir lagi”.
“Yaudah, kita naik aja dulu. Nanti kalo udah di sana tak kasih tau ada petir lagi atau enggak. Okey ???” jawab aku

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke Puncak Arjuna. Namun saat itu cuaca sangat kabut dan menghalangi pemandangan kami.
“But kabut, mbok yoo minggir bentar gitu lhooo, biarkan baginda lewat dulu.” Suara keluar dari mulut biadab saya. Namun kabut tak juga mau pergi tetap menghalangi cuaca sore saat itu. Sebelum sampai puncak, hujan kembali mengguyur kami. Behhhh,.,.,,.lumayan dingin lah. Namun kami tetep nekat ke Puncak hanya sekedar foto – foto alakadarnya.  Cuaca kabut, gerimis, hujan pun PHP pada kami. Kadang hujan kadang reda, hujan lagi , reda lagi, lagi hujan, lagi reda. Behhhhhhhhhhh,.,.,

Puncak Arjuna
Saat di Puncak Arjuna





Friday 6 February 2015

Kampung Idiot atau Kampung Inspirasi?


Traveling kali ini tidak ke pantai. ke gunung ataupun ke tempat wisata lainnya. Tapi kita menuju Wonopuro, sebuah perbukitan yang ada di RT 11 Dusun Sidowayah Desa Sidoharjo Kecamatan Jambon, Ponorogo. Hanya ada sekitar 27 rumah  yang berada di Wonopuro yang di huni kurang lebih 150 jiwa. Terdapat sebuah mushola yang digunakan untuk beribadah warga sekitar Wonopuro dan juga sebuah Taman Baca yang berada di depan rumah Ketua RT setempat yang digunakan anak - anak sekitar Wonopuro untuk belajar bersama.

Dari Kota Ponorogo kira - kira 45 menit kita bisa sampai di Dusun Sidowayah menggunakan kendaraan bermotor. Akses jalan menuju Wonopuro agak sulit karena jalannya yang masih tanah dan bebatuan, apalagi kalo musim hujan akan sangat sulit dilalui dengan kendaraan bermotor. Karena struktur tanahnya yang sangat becek dan jurang - jurang di pinggir jalan yang tidak ada pembatasnya. Letaknya pun agak jauh dari pemukiman warga lainnya. Kami pun menitipkan kendaraan di rumah warga di dusun Sidowayah yang letaknya ada di bawah  Wonopuro dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Kurang lebih satu jam setengah kita sampai di Wonopuro, waktu yang cukup lama karena kita melalui jalur baru yang belum pernah kita lalui sebelumnya. Tapi jika melalui jalur biasanya kurang lebih empat puluh lima menit bisa sampai di Wonopuro.

Setelah sampai di Wonopuro, kamipun menuju rumah Pak Loso, ketua Rukun Tetangga (RT) setempat. Di sana sudah ada teman kami yang datang belakangan tapi sudah sampai duluan karena melalui jalur biasanya. Kami pun disambut ramah oleh pemilik rumah. Di rumah Pak Loso juga ada Pak Samuri yang menderita tuna wicara.

Sebelumnya sudah banyak cerita atau berita tentang Dusun Sidowayah Desa Sidoharjo Kecamatan Jambon. Di media massa baik media cetak maupun elektronik juga banyak memberitakan tentang dusun tersebut. Sebuah dusun yang dijuluki "Kampung Idiot". Dimana penduduknya banyak yang mengalami keterbelakangan mental. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata "idiot" berarti tingkat kecerdasan berpikir seseorang yang sangat rendah, daya pikir yang lemah sekali di bawah rata - rata orang normal (IQ dibawah 25).

Namun betapa mengejutkannya kami saat tiba - tiba Pak Samuri dengan bahasa tuna wicaranya menunjukkan kepada kami sebuah lukisan tokoh wayang pada kalender bekas. Lukisan yang digambar menggunakan pensil dan dipajang di ruang tengah rumah Pak Loso, ketua RT. Ternyata lukisan tersebut adalah hasil karya Pak Samuri, yang mengalami tuna wicara tersebut. Karena belum percaya, kami pun mengambil buku gambar yang kebetulan ada di rumah Pak Loso dan memberikannya kepada Pak Samuri. Kami meminta Pak Samuri untuk menggambarkan sebuah tokoh wayang pada buku gambar yang kami berikan tersebut. Dengan imajinasinya Pak Samuri mulai menggoreskan pensilnya dengan rapi pada buku gambar yang kami berikan. Tanpa waktu lama Pak Samuri pun menyelesaikan gambar tokoh wayang yang kami minta. Tanpa mencontoh atau menjiplak gambar lainnya. Pak Samuri juga tidak menggunakan penghapus saat menggambar.


Hasil Karya Pak Samuri
Hasil Karya Pak Samuri


Kami pun sempat tak percaya tentang semua itu, tapi kami sudah melihat sendiri bagaimana Pak Samuri yang mengalami tuna wicara ini menggambar. Padahal menurut Pak Loso, ketua RT  tidak ada yang mengajari Pak Samuri untuk menggambar. Tapi Pak Samuri memang suka menggambar tokoh wayang. Di rumahnya sendiri juga ada koleksi gambar wayang yang beliau gambar sendiri. Padahal kami yang sudah diajarkan untuk menggambar di sekolah belum tentu bisa menggambar seperti Pak Samuri. Mungkin benar juga kata orang, kalau dibalik kekurangan seseorang pasti ada kelebihan tertentu yang dimiliki.

Itulah sedikit cerita kami dari Dusun  Sidowayah Desa Sidoharjo Kecamatan Jambon Ponorogo. Semoga melalui tulisan ini banyak masyarakat yang merubah stigma nya tentang dusun Wonopuro. Yang sering diberitakan tentang keidiotan atau keterbelakangan mental penduduknya. Karena masih banyak potensi - potensi positif yang terdapat di dusun Wonopuro.